Rencana memasukkan prajurit aktif ke dalam institusi/lembaga sipil yang lebih luas melalui revisi UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), tidak tepat dan tidak beralasan.
- Di Hadapan Wapres, Firli Bahuri Beberkan Asset Recovery 2022 Sudah 348,98 Persen Melebihi Target
- DPR Pertanyakan Kinerja BPKH Mengelola Dana Haji
- Tidak Elok, Wacana Jokowi Tiga Periode Bikin Malu Istana
Baca Juga
Begitu dikatakan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam “Refleksi 25 tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi” di Café Sadjoe Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (21/5).
"Pertimbangan ingin memasukkan TNI ke dalam institusi sipil tidak jelas dan tidak beralasan," kata Isnur.
Dia mengatakan, masalah koordinasi antar institusi menjadi suatu hal yang serius di Indonesia hari ini. Menurutnya, jika cakupan penempatan prajurit aktif di instansi sipil ditambah, maka akan banyak operasi yang tumpang tindih.
"Seharusnya program yang telah berjalan yang melibatkan TNI seharusnya dievaluasi terlebih dahulu. Kita harus mengawal perubahan dalam reformasi pertahanan dalam TNI," katanya.
Senada, disampaikan Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Kata dia, substansi revisi UU TNI tidak ubahnya ingin mengembalikan peran militer seperti era Orde Baru.
"Revisi UU TNI ini menjadi cek kosong untuk mengembalikan TNI kepada fungsi politik dan sosialnya sebagaimana zaman rezim Orde Baru," katanya.
Dikatakan Usman, TNI sejatinya adalah alat pertahanan untuk menjaga keutuhan NKRI. Sehingga, tidak ada alasan mendesak untuk banyak menempatkan prajurit aktif dalam institusi sipil.
"TNI sejatinya adalah alat pertahanan negara yang tugasnya mempertahankan NKRI dan menjalankan kebijakan pertahanan negara," pungkasnya.
- Hensat: Risma Cuci Mobil Demi Konten
- Irit Biaya, PKB Setuju Usulan Megawati Nomor Urut Parpol Tidak Berubah
- Rizal Ramli: UMR Hanya Naik 0,3 Persen, Inflasi Makanan Sudah 11,5 Persen, Ini Namanya Program Pemiskinan Massal Buruh?